Minggu, 08 Mei 2011

kondisi kemiskinan di dki jakarta




Kondisi kemiskinan di dki Jakarta

Data kemiskinan di dki jakarta
1.tahun2005=316,2
2.tahun2006=407,1
3.tahun2007=405,7
4.tahun2008=379,6
5.tahun2009=323,2
6.tahun2010=312,2                              

1 GAMBARAN KONDISI WILAYAH DKI JAKARTA

DKI Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk pada tahun 2008 sebesar 9.15 juta jiwa sehimgga Jakarta merupkan salah satu kota terpadat di wilayah Negara Indonesia
Dengan jumlah penduduk yang banyak maka DKI Jakarta mempunyai banyak masalah kependudukan yang salah satunya adalah masalah kemiskinan yang kurun tahun jumlahnya selalu meningkat.
Dan salah satu penyebab kemiskinan adalah kurngnya lapangan pekerjaan yang tersedia di wilayah DKI Jakarta menurut data BPS Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja sebesar 4,77 juta orang dan bukan angkatan kerja 2,18 juta orang tetapi jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah angkatan kerja yang ada.

2 KONDISI KEMISKINAN DI WILAYAH DKI JAKARTA


Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2009 sebesar 323,17 ribu orang (3,62 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2008 sebesar 379.6 ribu orang (4,29 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 57,45 ribu (0,67 persen). Keadaan ini dapat terjadi karena salah satu penyebabnya adalah adanya deflasi pada bulan januari sampai maret sebesar 0,13%
Dari data BPS pula dapat dikatakan bahwa kemiskinan dari tahun-ketahun secara umum dikatakan meningkat. Hl ini dapat dilihat dari table prosentase jumlah kemiskinan dari tahun 1996-2008




Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Menurut Daerah 1996-2008

3 CONTOH KASUS KEMISKINAN SAAT INI DI WILAYAH DKI JAKARTA


Harus diakui, Jakarta mempunyai berbagai program pemberantasan kemiskinan. Akan tetapi, program itu hanya menjangkau warga miskin ber-KTP DKI. Padahal,banyak warga miskin pendatang dari daerah-daerah di Jawa, bahkan juga luar Jawa, yang tidak tercatat sebagai penduduk DKI.
Bagi Yunaedi (37), mengingat bawang berarti mengingat masa-masa hidup bersama keluarganya yang selalu diwarnai tangisan. Air mata yang merembes bukan karena percikan air bawang yang memang bisa membikin mata pedas.
Namun, bawang jugalah yang mengiris hatinya. Akhirnya, petani bawang asal Brebes, Jawa Tengah, itu pun pergi ke Jakarta.
Yunaedi hanyalah petani tanpa lahan. Dia menggarap lahan milik orang lain,yang disewanya setiap tahun. Namun, biaya produksi bawang kerap taksebanding dengan harga jual hasil garapannya. "Kalau sudah rugi begitu,keluarga habis-habisan, pada nangis semua di rumah. Bawang itu begitu.Benar-benar bisa bikin nangis betulan," tutur Yunaedi mengenang.
Tahun 1999 Yunaedi ke Jakarta dan berjualan nasi goreng. Bersama Sarmah (31) dan dua anaknya, Yunaedi mengontrak rumah petak dari tripleks di atas Kali Mampang, Jakarta Selatan. Di sanalah mereka tinggal bersama ratusan jiwa kaum urban miskin lainnya. Gubuk-gubuk kumuh mereka terjepit di antara permukiman mewah.

Yunaedi hanyalah salah satu potret ketidakberdayaan kaum miskin di Jakarta.Mereka terus-menerus terpinggirkan secara sistemik. Karena statuskependudukannya ilegal, Yunaedi pun tak berdaya ketika gagal mengurus kartukeluarga miskin.
Potret kemiskinan di kota memang tak bisa dipandang sederhana sebagaimasalah perkotaan semata. Kemiskinan pun tak sedatar data statistik, yang Mudah dimanipulasi. Bagaimana sebenarnya benang kusut kemiskinan di kota ini berawal?
Dian Tri Irawaty dari Divisi Riset dan Pengembangan Konsorsium Kemiskinan Kota (Urban Poor Consortium/UPC) mencermati, ketidakberdayaan kaum miskin di kota sudah dimulai sejak hak petani atas tanah di desanya tercerabut. Mereka Yang sejatinya petani justru tak sanggup mempunyai lahan sendiri.
Petani seolah dimiskinkan. Salah satu awal mula penyebab kemiskinan di kota adalah ketika sektor pertanian dikebiri secara sistemik. "Potret kemiskinan di kota hanya salah satu manifestasi dampak dari pengebirian itu," papar Dian.
Tercerabutnya tanah dari kehidupan petani diperparah dengan mandeknya pelaksanaan reformasi agraria (land reform) yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Baru belakangan ini Badan Pertanahan Nasional berusaha merealisasikan amanat yang telah mati suri puluhan tahun.
Undang-undang itu mengamanatkan pemerintah untuk meredistribusi tanah Negara kepada para petani penggarap dan petani tak bertanah. Kepemilikan dan penguasaan tanah pun dibatasi. Semangat perundang-undangan itu tak lain untuk menciptakan pemerataan dalam kesempatan kegiatan produktif di bidangpertanian.
Namun, Onghokham Institute mencatat, perundang-undangan itu justru mandek sejak memasuki tahun 1970. Sebaliknya, kemudahan dalam penyediaan tanah untuk kegiatan investasi dan eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar terbuka luas. Akibatnya, kepemilikan lahan oleh petani terus menyempit. Konversi lahan pertanian terus saja terjadi.

Kedaulatan petani pun terkebiri dengan diadopsinya gagasan Revolusi Hijau. Akibatnya, petani terus bergantung pada pupuk kimia, pestisida, dan benih. Ini tentu saja makin menggemukkan pundi-pundi perusahaan multinasional di sektor pertanian. Sementara, indeks nilai tukar petani selalu rendah, jika tidak selalu merosot.
"Tak salah bukan kalau lantas mereka berbondong-bondong ke Jakarta mencari hidup? Mereka tak lagi punya tanah, tak ada sumber penghidupan yang memadai," ujar Dian.
Di Jakarta, ketiadaan hak atas tanah di desa mereka berlanjut dengan tiadanya hak mereka atas tempat tinggal di Ibu Kota. Mereka pun menempati lahan-lahan ilegal; bantaran kali, kolong jembatan, kolong jalan tol, hingga tepi rel kereta. Mereka pun mencari nafkah di kawasan terlarang, bahu jalan, trotoar, juga kawasan parkir. Sebagai warga ilegal, bayang-bayang kehilangan sumber penghidupan serta tempat bernaung terus mengancam.
Sama halnya dengan Yunaedi, sebagian besar dari mereka terpaksa menghuni lahan-lahan yang semestinya bukan untuk permukiman. Bantaran sungai, pinggir rel, kolong jembatan, atau tanah-tanah kosong yang belum dibangun oleh pemiliknya adalah pilihan paling mudah.
Kepala Dinas Kependudukan DKI Jakarta Abdul Kadir menyebut ada puluhan titik komunitas warga yang menempati daerah terlarang, di antaranya 32 lokasi di Jakarta Utara. Antara lain di Rawa Bebek, persisnya di kolong jalan tol layang Pluit, Teluk Gong, Kampung Bandan, Marunda, Tanah Merah, dan jalur hijau di bantaran Cakung Drain.
Jumlah mereka bisa ratusan ribu jiwa. Sebab, di Tanah Merah saja ada 750 keluarga, sementara di Cakung Drain sekitar 300 keluarga.Digusur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatasi kemiskinan di kota dengan pendekatan represif. Penertiban. Permukiman kaum miskin yang kumuh dianggap penyakit dan merusak gemerlapnya kota. Melalui Peraturan Daerah Nomor 11
Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, kaum miskin kerap diusir. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum semakin melegalkan penggusuran paksa.
Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE), sebuah organisasi dunia diSwiss yang mengampanyekan hak atas tempat tinggal, menyebut penggusuranpaksa di Indonesia, khususnya Jakarta, telah mencapai level cukup gawat.
COHRE menempatkan Indonesia sebagai satu dari tujuh negara yang melakukan penggusuran paling besar di dunia. Sedangkan UPC mencatat, sejak tahun 2000 hingga 2005 saja sebanyak 19.094 keluarga digusur.
"Percuma pemerintah gusur-gusur kami. Mereka kasih uang kerohiman, padahal buat kami itu uang kezaliman. Kami diusir dari satu tempat, pindah ke tempat lain yang tetap ilegal," ujar Nenek Dela, pemulung di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.
Bagi kaum miskin kota ilegal itu, untuk sekadar memiliki hak atas rasa aman di tempat tinggal saja tak terpenuhi. Mereka pun kesulitan mengakses bantuan
pemerintah. Tempat tinggal yang ilegal membuat mereka pun tak bisa membuat kartu tanda penduduk. Tertutupnya bermacam akses bagi mereka pada akhirnya membuat anak-anak mereka pun merana. "Kenapa cuma orang berduit yang boleh datang ke Jakarta. Yang miskin dikejar-kejar tramtib," kata Nenek Dela.
Dian mengemukakan, alangkah tidak adilnya ketika berbagai pembangunan sejumlah gedung yang terbengkalai tidak berlanjut, dibiarkan begitu saja.
Gedung-gedung menganggur itu malah kerap dijadikan tempat pesta disko (rave party) kaum muda Jakarta. Mal pun terus dibangun meski banyak yang sepi pengunjung. Sementara, banyak warga miskin yang membutuhkan sekadar sepetak tempat tinggal layak hanya bisa gigit jari.
Menurut Dian, masalah kemiskinan di perkotaan memang harus diatasi sejak dari akar masalahnya. Penuntasan masalah itu harus menjadi tanggung jawabpemerintah pusat yang menerjemahkannya dalam kebijakan nasional yangprorakyat miskin. Pemerintah provinsi pun sepatutnya menyikapi persoalan domestik kotanya lebih bijak, bukan justru menyalahkan si miskin atau si
marjinal, yang nekat ke kota.
"Paradigma memandang kemiskinan harus diubah. Bukan salah mereka kalau nekat ke Jakarta," kata Dian.

Ya, memang bukan maunya si miskin menceburkan diri di Jakarta, lantas
tersesak di antara lautan mal, apartemen, dan berbagai titisan globalisasi.
Rumahku adalah istanaku. Kiranya itu sebutan yang terlontar dari bibir Fatimah. Istana dimaksud adalah sebuah ruangan berukuran 2 x 3 meter, beralas tanah dan berdinding kayu. Kontrasnya rumah itu menghadap ke sungai Ciliwung yang airnya mengalir deras hampir mencapai bibir sungai.
Walau memiliki konstruksi bangunan yang cukup kuat, karena disangga dengan empat batang kayu, namun di musim hujan kali ini perasaan was was mengintai mereka. "Waktu banjir datang, rumah ini tidak ada lagi ketutup air," kata Fatimah.
Rumah yang ditinggalinya itu adalah warisan peninggalan suami yang semasa hidup bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah sekolah di Otista, Jakata Timur. Untuk menggantikan sang suami menghidupi ke 3 anaknya, yang masih dibawah 3 tahun Fatimah kini bekerja membantu tetangganya mencuci baju dengan penghasilan Rp 15.000 per hari.
Pernah dia membuat usaha berjualan kue ke pasar, namun lantaran tidak ada yang menjaga ke 3 anaknya, Fatimah kembali menekuni pekerjaan lamanya. Pengalaman sulit juga dialaminya saat dia harus kehilangan anak ke duanya yang terserang muntahber. Untuk biaya perawatan di rumah sakit Fatimah sempat mendapat pinjaman dari para tetangga.
Kemiskinan mewajah pada ratusan keluarga yang bermukim di bantaran kali di daerah Bukit Duri, Bidara cina, Kampung Melayu hingga Manggarai, meski dalam banyak hal pengalaman perempuan seperti Fatimah memperlihatkan wajah kemiskinan yang lebih luas. Menurut survei Sanggar Akar, lebih dari 65 persen penduduk di wilayah itu memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Jakarta, 32,97 persen sisanya belum memiliki KTP karena faktor usia.
Para ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses pada hal-hal yang vital dalam hidup. Kemiskinan absolut berarti tak punya akses kepada sumber daya dasar yang menopang kehidupan, seperti air bersih, tanah, rumah yang layak, benih (bagi petani), makanan bergizi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lingkungan yang sehat. Dengan demikian, kemiskinan absolut tak bisa direduksi dengan penghitungan pendapatan yang dibuat lembaga-lembaga internasional, yakni dua dollar sehari, atau asupan kalori saja. Angka-angka itu menegaskan inflasi dan kenaikan harga yang meroket, sementara pendapatan tidak bergerak.
Tidak ada data yang akurat tentang besaran pendapatan warga Jakarta. Paul McCarthy dari Bank Dunia dalam Global Report (2003), mengutip sebuah lembaga survei di enam kota besar di Indonesia, menulis, 22 persen penduduk kota hidup dengan biaya kurang dari Rp 350.000 per bulan pada tahun 2001. Sekitar 20 persennya hidup dengan sekitar Rp 350.000 sampai Rp 500.000.
Akan tetapi, mengatakan mereka yang hidup dengan pendapatan di bawah Rp 500.000 per bulan sebagai "miskin" juga terlalu menyederhanakan persoalan karena tidak menghitung biaya perumahan dan jumlah keluarga.
Kendati begitu, tingkat kemiskinan meningkat dalam konsep kerentanan terhadap kemiskinan sebagai dampak krisis ekonomi. Bank Dunia mencatat, sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia tergolong rentan terhadap kemiskinan.
Di kota, tingkat kerentanan itu diperkirakan sekitar 29 persen, jauh lebih rendah dari kawasan pedesaan yang 59 persen. Data ini menjelaskan mengapa semakin banyak orang pergi ke kota besar untuk mengais rezeki yang semakin sulit di desa dan di kota-kota kecil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi terkaya di Indonesia dan berada di peringkat tertinggi Indeks Pembangunan Manusia dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004. Meski UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah diterapkan, berbagai data memperlihatkan masih 65 persen peredaran uang di Indonesia menumpuk di Jakarta.
Bisa dipahami kalau kota ini menjadi semacam tempat "pengungsian" dari kehidupan yang menekan di tempat lain. Gemerlap Jakarta menjadi seperti lampu neon yang menarik laron. Laju pertumbuhan penduduknya jauh lebih tinggi dibandingkan data resmi, menjadikan megacity terbesar di Asia Tenggara ini penuh paradoks mulai tahun 1970-1980, ketika proses industrialisasi masif dimulai.
Mereka yang tergolong kaya bisa membayar makanan sepiring seharga ratusan ribu rupiah, sementara ribuan orang lainnya memeras keringat untuk Rp 10.000 sehari. Yang satu menguruskan badan dengan biaya jutaan rupiah, sementara ribuan anak tak bisa makan tiga kali sehari.
"Itu yang kini tergambar di wijah Jakarta" kata Kasubdit Studies Harga Konsumen Badan Pusat Statistik Sasmita. Pada awal tahun masyarakat sudah dihantui dengan kenaikan harga BBM akibat naiknnya harga minyak dunia. Walau bukan karena tekanan, hanya minyak goreng dan minyak tanah pun kini juga melonjak.
Dengan kondisi ekonomi yang dialami Fatimah dan ketiga anaknya, melonjaknya harga-harga kebutuhan itu merupakan pukulan telak yang tidak bisa dihindari. Kesulitan yang akan dialami oleh kaum miskin akan semakin besar. "Jakarta memang barometer perekonomian Indonsia, enam puluh persen perputaran uang ada di sini, tapi bagi siapa" ujarnya.
Kaum miskin seperti halnya Fatimah adalah sasaran mudah bagi aksi penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI memoles apa yang disebut sebagai "borok", yakni daerah-daerah kumuh di kota dan meminta pihak swasta "memodernisasi" kawasan itu dengan bangunan-bangunan modern pusat konsumsi. Tanah Jakarta seperti tak bisa bernapas, bahkan sungai pun mengecil, dipenuhi bangunan tinggi, membuat banjir tak terkendali dan wabah penyakit infeksi meluas.
Daerah bantaran sungai seperti tempat tinggal Fatimah merupakan wilayah yang rawan digusur. Padahal, berdasar data yang dimiliki oleh ketua RT 06 Jafar, ia sudah mendiami wilayah itu sejak 20 tahun lalu. "Pertama ditinggali oleh lakinya" tuturnya.
Kenyataan ini seperti ironi jika dihadapkan pada pernyataan pejabat tentang komitmen memberantas kemiskinan. Sebaliknya, mereka terus menciptakan kambing hitam dan stigma, membuat bukan kemiskinan yang harus dihadapi, tetapi orang miskin.
Kriminalitas senantiasa dikaitkan dengan kelompok ini. Padahal, isunya adalah lapangan kerja bagi kelompok urban tanpa keterampilan, di samping semakin terpinggirnya penduduk asli.
Riset lembaga swadaya masyarakat menyebutkan sekitar 2,8 juta penduduk Jakarta bermukim di 490 wilayah yang dikategorikan sebagai "kantong kemiskinan". Data penduduk bervariasi, antara 7,8 juta sampai 12,5 juta, tergantung metodologi yang digunakan




Sumber :
BPS Provinsi DKI Jakarta. 2009. Jakarta Dalam Angka 2009. Jakarta : BPS Provinsi DKI Jakarta
www.google.com Artikel Sarie Febriane

Tidak ada komentar:

Posting Komentar